Thursday, September 13, 2007
sunset on 8:10 PM


Menggapai Puncak Tertinggi di Sulawesi, Rante Mario 3478 Mdpl

Kali ini team KARPALA KALFA melakukan perjalanan ke pegunungan Latimojong dengan target puncak Rante (Dante) Mario yang memiliki ketingian 3478 Mdpl. Pada koordinat 120º 01’ 30” BT - 03º 23’ 01” LS, dengan waktu tempuh 14-17 Agustus 2007. Pegunungan ini terletak ditengah-tengah Propinsi Sulawesi Selatan, diapit oleh empat kabupaten yaitu Tana toraja di Utara, Luwu Timur, Sidrap di Selatan, dan enrekang di Barat. Perjalanan panjang dan berliku tapi mengasikkan. Bagaimana tidak, perjalanan yang dilakukan oleh empat belas orang dari KARPALA KALFA (Team Lenong, ngga dimana-mana bawaannya kaca, bedak, dan perfume, red), dan empat orang teman dari KPA Lembayung, benar-benar memberikan suasana trekking yang santai, nyaman, dan menyenangkan.

Sekilas kehidupan penduduk dan geografis pegunungan Latimojong
Banyak orang yang menyebutnya sebagai gunung Latimojong, tetapi sebenarnya merupakan pegunungan yang disebut dengan Latimojong dengan beberapa puncak yang membujur dari Barat ke Timur, yaitu Buntu (Buttu/puncak) Pantealoan 2500 Mdpl, Buntu Pokapinjang 2970 Mdpl, dan Buntu Rante Mario 3478 Mdpl. Melintang dari Utara ke Selatan, yaitu Buntu Sinaji 2430 Mdpl, Buntu Sikalong 2754 Mdpl, Buntu Rante Kambola 3083 Mdpl, Buntu Rante Mario 3478 Mdpl, Buntu Nenemori 3097 Mdpl, Buntu Majaja 2700 Mdpl, dan Buntu Latimojong 2800 Mdpl. Formasi Latimojong tersusun dari batuan sedimen liat berselingan dengan batuan gunung api (vulkanik), batu pasir tufaan berselingan dengan tufa, batu pasir, batu lanan dan batu lempung umumnya mengeras kuat dan sebagian kurang padat. Iklimnya tergolong tropis basah dengan curah hujan rata-rata 1000-1500 mm/tahun. Banyak terdapat sungai dan sumber mata air di sepanjang perjalanan dari dusun latimojong hingga menuju ke puncak (mata air terakhir berada pada post 7 pada ketinggian 3300 Mdpl)

Saat ini listrik telah masuk sampai di dusun Karangan. Dengan memanfaatkan arus air sungai yang mengalir di sepanjang dusun tersebut untuk menggerakkan kincir air/kumparan yang mengolah kekuatan air menjadi arus listrik. Satu kincir air dapat menerangi tiga rumah. Sehingga kekuatan arus listrik yang dihasilkanpun tergantung dari besarnya arus air sungai. Besarnya arus air sungai ini juga tergantung dari peran serta manusia untuk menjaga kelestarian hutan di pegunungan Latimojong yang dapat berfungsi sebagai pengikat air hujan.

Sumber mata pencaharian penduduk di sekitar kaki/lereng pegunungan ini adalah bertanam kopi, kakao, salak, dan beberapa tanaman rempah-rempah lainnya. Namun komoditi paling besar/dominan adalah tanaman kopi dan kakao, yang banyak tersebar di kecamatan Baraka, Alla, dan Curio. Disamping karena kesesuaian lahan dan makin besarnya minat masyarakat untuk mengusahakan tanaman tersebut. Besarnya permintaan, prospek pasar yang cukup menjanjikan, dan juga nilai jual kopi dan kakau lebih tinggi ini lah yang menjadi alasan utama bagi petani untuk mengembangkan tanaman tersebut.

Beberapa jenis hewan langka dan dilindungi di daerah ini adalah Anoa (Bubalus Depressicornis), Elang dan beberapa jenis burung kecil (kemungkinan masih ada jenis hewan langka dan dilindungi di daerah ini, karena keterbatasan informasi penulis maka tidak dijabarkan pada artikel ini). Anoa merupakan binatang endemic Sulawesi dengan ciri-ciri mirip sapi, mempunyai tanduk runcing berukuran 13-15 cm, berwarna coklat dan berbulu tebal sebagai perlindungan terhadap udara pegunungan. Jika beruntung, Anoa akan terlihat antara post 2 sampai puncak, terutama di post 7 yang sebagian besar merupakan savanna dan batuan tebing yang merupakan salah satu habitat hidup Anoa. Tapi sayang, kelestarian hidup Anoa ini sangat tergantung dari peran manusia dalam menjaga hutan dan kelestarian alam sebagai tempat binatang-binatang ini berkembang biak. Sementara yang terlihat saat ini, manusia lebih memilih menjadikan hutan sebagai ladang meraih keuntungan komersil. Perburuan Anoa yang dilakukan secara ilegal oleh pendatang yang hanya mementingkan keuntungan pribadi juga merupakan salah satu faktor kepunahan Anoa. Kebiasaan penduduk sekitar pegunungan Latimojong dalam memperlakukan Anoa sangatlah istimewa, terbukti untuk melakukan perburuan binatang endemic Sulawesi ini ada beberapa ritual yang harus di jalankan, antara lain melepaskan tiga ekor ayam antara post 5 sampai puncak yang dilakukan oleh sesepuh adat sekitar. Perburuan yang dilakukan ini dilakukan jika di desa/dusun mereka kedatangan tamu penting seperti bupati, camat atau ada acara pelantikan kepala desa dan kepala dusun.

Perjalanan team KARPALA KALFA menuju Buntu Rante (Dante) Mario 3478 Mdpl

Senin, 13 Agustus 2007 Desa Baraka – Dusun Karangan 1390 Mdpl
Perjalanan kami diawali pada sebuah bandara Hasanudin di Maros, Sulawesi Selatan. Dengan di jemput dua mobil kijang dan satu inova (yang sebelumnya sudah di booking dari Jakarta), dengan biaya sewa Rp. 400,000 per mobil per sekali jalan. Ketiga mobil tersebut akan membawa kami ke desa Baraka, dengan kecepatan yang luar biasa (rata-rata 140 Km/jam) yang menurut sopir yang kami tanya, hal ini sudah biasa dilakukannya (alamaaak…gile bener, belum apa-apa adrenalin sudah di uji coba). Perjalanan selama ± 5 jam ini telah membawa kami hingga sampai ke desa Baraka dengan selamat (Alhamdulillah….). Istirahat sejenak sambil berkenalan dengan teman-teman di KPA Lembayung yang beberapa diantaranya akan menjadi guide kami selama pendakian, melakukan perijinan pendakian dilakukan di Polsek Baraka, serta konfirmasi sarana transportasi untuk ke dusun Latimojong (Rante Lemo). Transportasi menuju dusun Latimojong ini dengan menggunakan truck yang biasa digunakan untuk mengangkut kopi dan hasil pertanian lainnya. Harga sewa (carter) truck ini adalah Rp. 360,000 per sekali jalan.

Perjalanan dari desa Baraka menuju dusun Latimojong (Rante Lemo) dilakukan ± 3 jam. Jalanan yang masih berupa tanah, di kanan-kirinya tebing dan jurang, dan disuguhi dengan pesona alam, tebing-tebing yang menjulang tinggi, jajaran pegunungan latimojong dan perkebunan penduduk serta beberapa rumah khas daerah tersebut, membuat kami betah berlama-lama menikmati perjalanan ini, meskipun keadaan kami dalam truck tersebut seperti perahu yang terombang-ambing oleh hempasan ombak.

Perjalanan menuju titik awal start pendakian belum berakhir sampai disini, dari dusun Latimojong perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki ± 3 jam menyusuri jalan setapak landai perkebunan penduduk menuju dusun Karangan (1390 Mdpl). Dusun ini merupakan dusun terakhir untuk mendaki pegunungan Latimojong (titik start pendakian) serta melakukan perijinan pendakian ke kepala dusun setempat. Ketika kami sampai di dusun Karangan, langit sudah mulai gelap, sehingga kami memutuskan untuk bermalam di dusun ini, tepatnya di kediaman Bapak Sahir, merupakan kepala dusun Karangan.

Selasa, 14 Agustus 2007 Dusun Karangan - Post 5 (Soloh Tama) 2480 Mdpl


Dusun Karangan – Post 1 (Buntu Kaciling) 1800 Mdpl
Pagi yang cerah untuk memulai perjalanan. Pukul 09.00 WITA kami mulai perjalanan ini dengan keceriaan. Jalan setapak yang di tempuh relatif lebih kecil, melewati perkebunan kopi dan kakao, serta menyususri pinggiran sungai Salu Karangan yang jernih dengan suara gemericik air yang membuat sejuk perjalanan kami. Tapi kenikmatan kami terganggu dengan adanya suara gemuruh mesin penebang pohon yang marak terjadi di kawasan hutan itu. Hal ilegal tapi terlihat seperti legal. Sungguh ironis memang, tapi itulah yang terjadi pada hutan kita sekarang.

Dalam perjalanan ini kita akan melewati dua jembatan kayu untuk menyeberangi sungai, dilanjutkan dengan jalan menanjak ± 60º dan akan menemukan jalan bercabang. Ikuti jalur yang kekiri dan agak landai untuk menuju ke puncak Rante Mario. Perlu ketelitian untuk mencapai post 1, karena banyak jalanan bercabang yang merupakan jalur penebang kayu dan pemburu yang dapat mengecoh pendaki. Sepanjang perjalanan ke post 1 ini didominasi oleh tanaman perkebunan, seperti kopi dan kakau.

Perjalanan menuju post 1 ini kami tempuh ± 1.5 jam. Terletak pada koordinat 3º 24’ 21.5” LS - 119º 59’ 52.3” BT, pada ketinggian 1800 Mdpl, dengan jarak tempuh dari dusun Karangan menuju post 1 ± 1.2 km. luas area ini ± 8 m2 dan tidak terdapat mata air.

Post 1 – Post 2 (Goa Sarung Pakpak) 1800 Mdpl
Jalur menuju post 2 ini sedikit menanjak dan lebih banyak jalur menurun, karena letak post 2 ini berada pada lembahan dan tepat di tepi sungai yang mengalir deras. Perlu konsentrasi tinggi dalam menyusuri jalur ini, karena kita menyusuri jalan setapak yang sangat licin dan kecil (hanya cukup untuk satu orang), melipiri tepi jurang yang curam, jika salah langkah sedikit saja, jurang besar menganga menanti kita (seyeeeem tapi seruuuu….). Ketika akan mencapai post 2, kita harus menyeberangi sungai dengan menggunakan jembatan kecil yang terbuat dari batang pohon dan sangat licin. Jadi, harap berhati-hati karena telah banyak korban dari team kami yang tercebur di sungai tersebut. Tidak terlalu dalam tapi dinginnya air sungai tersebut bisa membuat badan seolah mati rasa.

Perjalanan menuju post 2 ini kami tempuh ± 2 jam. Sepanjang perjalanan didominasi dengan hutan pegunungan campuran (Mixed Hill forests). Terletak pada ketinggian 1800 Mdpl, berada di bawah batu tebing yang sangat besar dan tidak terlalu luas untuk mendirikan tenda. Jarak tempuh dari post 1 menuju post 2 ± 0.9 km. Tersedia banyak air sungai yang mengalir deras yang dapat langsung di konsumsi.

Post 2 – Post 3 (Lantang Nase)
Menuju post 3, kami langsung disambut dengan tanjakan terjal ± 80-85º hampir tanpa bonus, licin, dan berbatu (pokoknya aduhaai banget trek ini). Konsentrasi dan keseimbangan harus dijaga untuk melewati jalur ini, karena jika kita lengah sedikit akan terjungkal kebelakang. Sebaiknya sediakan tali untuk membantu melewati jalur ini, tapi jika tidak membawanya, maka tidak perlu khawatir karena akar-akar serta semak-semak belukar akan membantu pendaki dalam melewati jalur ini.

Post 3 ini merupakan area datar berukuran ± 8 m2. Terletak pada koordinat 3º 24’ 24.5” LS - 120º 00’ 26.8” BT. Tidak terdapat mata air pada post 3. Jarak tempuh menuju post ini ± 600 km, dengan kemiringan antara 80-85º, dan waktu tempuh kami ± 2 jam perjalanan.

Post 3 – Post 4 (Buntu Lebo) 2140 Mdpl
Masih dengan pemandangan hutan pegunungan campuran yang memiliki pohon dengan diameter tidak terlalu besar namun tinggi-tinggi, sedikit lumut-lumut tebal yang hidup menempel pada pohon, dan kicauan burung-burung semakin membuat kami bersemangat menikmati perjalanan. Tanjakan terjal antara 60-70º tidak mematahkan semangat kami untuk terus melangkahkan kaki ini.

Post 4 terletak pada ketinggian 2140 Mdpl, dengan jarak tempuh dari post 3 ± 1 km, kami dapat melaluinya dengan waktu tempuh 1.5 jam. Area ini tertutup oleh pohon-pohon yang mendominasi hutan tersebut dan tidak cocok untuk mendirikan tenda dengan jumlah yang banyak karena hanya mempunyai luas 6 m2 dan tidak terdapat mata air.

Post 4 – Post 5 (Soloh Tama) 2480 Mdpl
Jalur menuju post 5 tidak terlalu sulit untuk dilalui, dengan tanjakan antara 40-50º semakin membuat kami bersemangat untuk mencapai post 5 yang merupakan target akhir kami mendirikan tenda dan bermalam untuk hari ini. Dengan kemampuan dan kekuatan tenaga yang masih tersisa, kami menempuh perjalanan ke post 5 ± 2 jam. Terlalu lama dari waktu tempuh yang telah di targetkan.

Sepanjang perjalanan menuju post 5 didominasi oleh jenis hutan sub-montana dengan beberapa pohon serta tanahnya dilapisi oleh lumut-lumut tebal, dan sesekali terlihat pohon Kalpataru, sehingga membuat kami menikmati perjalanan ini sambil mencari buah kalpataru yang berjatuhan dan sudah mengering.

Akhirnya sampailah kita di post 5. Tempat ini sangat cocok digunakan untuk bermalam, karena selain areanya datar dan cukup luas, mata airpun tersedia disini, berupa sebuah sungai yang berjarak ± 150 m menuruni lembah bertebing dan agak bergaya scrimbling untuk mencapai lokasi mata air. Suhu udara ketika itu mencapai 8ºC pada malam hari dan 10-12ºC pada pagi hari.

Rabu, 15 Agustus 2007 Post 5 – Puncak Rante (Dante) Mario 3478 Mdpl

Post 5 – Post 6 2690 Mdpl
Pagi yang dingin, setelah beraktivitas seharian kemaren membuat badan jadi malas untuk di gerakkan, terlebih sleeping bag lusuhku semakin menghangatkan raga yang masih bernyawa ini. Tapi perjalanan panjang masih harus kami tempuh. Di seberang Samudera Indonesia banyak yang mengharapkan kami untuk kembali dan berhasil mencapai puncak tertinggi di Sulawesi ini. Merupakan kebanggaan (tanpa ada rasa takabur) bagi setiap pendaki yang berhasil mencapai puncak dan menyentuh triangulasinya. Semangat ini lah yang terus berkobar dalam hati kami dan segera beranjak menuju puncak Rante (Dante) Mario.

Bangun pagi, sinar mentari hangat dihati
Seiring Bob Marley nyanyikan lagu cinta
Aku belum mandi dan gosok gigi
Dengan segelas kopi hangat kupandang hutan hijau yang luas
(harusnya “kupandang lautan lepas”, red)

Tepat pukul 09.00 WITA kami start menuju puncak.

Jarak antara post 5 menuju post 1 tidak terlalu jauh, memiliki tanjakan terjal antara 50-60º, didominasi hutan dengan pohon-pohon tidak terlalu tinggi dan diameter batang tidak terlalu besar. Lumut-lumut semakin banyak terlihat pada jalur ini, menempel pada batang-batang pohon dan tanah, sehingga membuat jalur semakin licin. Jajaran puncak pegunungan Latimojong sudah terlihat, meskipun pandangan kita masih terhalang oleh beberapa pohon-pohon dan kabut tipis yang menyelimuti di sekitar post tapi tidak mengurangi indahnya pesona alam jajaran pegunungan tersebut (Subhanallah…..).

Pada post 6 tidak cocok dijadikan tempat untuk mendirikan tenda, karena area yang tidak terlalu luas ± 8 m2 dan tidak terdapat mata air pada post ini. Jarak antara post 5 menuju post 6 ± 700 m. Waktu tempuh kami ketika itu ± 35 menit.

Post 6 – Post 7 (Kolong Buntu) 3100 Mdpl
Jalan setapak dengan tanjakan berkisar antara 35-50º, kontur tanah lebih didominasi berupa padas, berlumut, licin dan disebelah kiri menganga jurang yang curam, membuat kami harus tetap extra hati-hati dalam melangkah. Sepanjang jalur ini merupakan area yang sudah terbuka karena sebagian besar pohon-pohon yang mendominasi area ini adalah pohon-pohon perdu semacan Cantigi, sehingga kami dapat dengan leluasa memandang jajaran pegunungan Latimojong yang mempesona.

Post 7 berada pada ketinggian 3100 Mdpl, lokasinya agak melembah dan area yang sangat luas yang dapat digunakan untuk mendirikan beberapa tenda. Banyak pendaki yang betah berlama-lama bahkan bermalam di post ini, karena area ini sangat terbuka dan jajaran pegunungan Latimojong merupakan daya tarik tersendiri, tapi juga harus hati-hati, karena kadangkala terjadi badai angin kencang dan kabut tebal menyelimuti area ini. Sebelum mencapai post 7 ada sebuah batu-batu padas. Jika kita berjalan ke kiri dari batu-batu padas tersebut, sejauh ± 20 m akan ditemukan mata air kecil tapi terus mengalir sepanjang tahun.

Post 7 – Puncak Rante (Dante) Mario 3478 Mdpl
Tanjakan terjal ± 45º yang hanya berjarak 150 m siap menyambut kami. Kawasan yang banyak di jumpai lumut dan tanaman perdu ini mempunyai beberapa jalan bercabang sebelum kita sampai di puncak. Pada percabangan pertama, ambil jalur ke kiri dengan medan menurun jika kita akan menuju sebuah persimpangan yang disebut dengan parapatan dengan melewati lembahan, dan ambil jalur ke kanan dengan medan menanjak ± 40º dan jarak tempuh ± 100 m jika akan berkunjung ke post tower (antena). Konon antena yang ada pada post ini merupakan antena komunikasi ABRI yang tidak terpakai lagi). Dari post antena ini terdapat jalur alternative menuju puncak Rante Mario, yaitu melewati hutan yang sebagian besar pohonnya mempunyai diameter batang kecil dan tidak terlalu tinggi (tinggi pohon ± 2 meter) dengan jalur yang relative landai, tapi harus tetap berhati-hati karena jalur ini licin. Jadi jalur ini tidak lagi melewati Parapatan yang medannya menuruni lembahan kemudian menanjak ± 40º dengan medan berbatu. Dari Parapatan ambil jalur ke kiri untuk menuju puncak Rante Mario. Kedua jalur tersebut akan bertemu sebelum mencapai puncak.

Jalur menuju puncak ini didominasi oleh padang rumput dan batu-batuan, yang relative landai dengan sesekali tanjakan. Akhirnya sampailah kami di Puncak tertinggi di Selawesi, Rante (Dante) Mario.Berada pada ketinggian 3478 Mdpl, pada koordinat 120º 01’ 30” BT - 03º 23’ 01” LS. Waktu tempuh kami saat itu dari post 7 adalah 1.5 jam Mempunyai area yang luas dan terdapat triangulasi yang biasa dimanfaatkan oleh pendaki untuk mengabadikan kesuksesannya mencapai puncak tertinggi di Sulawesi ini.

Pulang dengan beragam cerita dan pengalaman indah

Keindahan dan kemolekanmu akan selalu kami jaga
Hutanmu yang hijau, sungai jernihmu yang tak lelah mengalir, memberikan aura baru bagi kami yang menjamahmu
Kini kami pulang dengan membawa beribu kisahmu
Lestari alamku, lestari negeriku….

Kali ini kami turun dengan melewati jalur yang sama ketika kami menuju puncak. Terbesit keinginan untuk menggapai puncak Nenemori yang merupakan puncak tertinggi kedua di pegunungan Latimojong ini, tapi karena keterbatasan waktu yang kami punya akhirnya kami tepis rasa itu dan berharap suatu ketika dapat “menjamah lembut” indahnya Nenemori.

Perjalanan turun kali ini, waktu yang kami tempuh tidak berbeda jauh dengan pada saat pendakian. Target kami saat ini untuk bermalam, sebelum akhirnya kami kembali lagi ke “peradaban” adalah post 5.

Kamis, 16 Agustus 2007 Post 5 – Dusun Karangan

Pagi yang cerah, dengan susah payah sinar mentari berusaha menembus rimbunnya hutan di post 5, membuat kami hampir tidak merasakan hangat “sentuhannya” tapi hal ini tidak mematahkan semangat kami untuk segera beranjak meninggalkan post 5, karena kami tau perjalanan turun akan memakan waktu yang tidak singkat. Bagaimana tidak, jalanan yang licin akan menyulitkan kaki ini untuk melangkah dan dibutuhkan extra hati-hati.

Pukul 09.00 WITA kami sudah siap untuk meninggalkan post 5. Perjalanan menuju post 4 dan post 3 dapat kami lalui dengan lancar. Canda tawa serta celaan-celaan menggoda selalu menemani perjalanan, sehingga perjalanan ini begitu terasa menyenangkan dan singkat.

Perjalanan dari post 3 menuju ke post 2, Jalur inilah yang paling extreme. Jalur dengan kemiringan tanah ± 85º, licin dan sedikit berair membuat kami harus extra hati-hati dalam menentukan langkah. Tidak sedikit korban dari team kami yang terperosok di jalur ini. Disinilah kami membutuhkan bantuan tali sebagai salah satu alat bantu untuk menjaga keseimbangan tubuh dan beban ransel yang kami bawa. Dengan kekompakan team akhirnya kami dapat mencapai post 2 dengan selamat (Thanks GOD). Beristirahat sejenak untuk makan siang dan shalat, sambil sesekali menikmati gemericik dan segarnya air sungai yang mengalir persis di samping di post 2, membuat kami melupakan “penderitaan” kami ketika turun dari post 3 tadi.

Kabut tipis menyelimuti post 2, dingin mulai menusuk ke tulang-tulang kami, waktunya untuk segera bergegas. Perjalanan menuju post 1, medan yang licin, melipiri punggungan gunung, dan sebelah kanan merupakan jurang yang menganga lebar membuat kami harus tetap extra konsentrasi untuk memijakkan kaki. Tenaga yang telah terkuras beberapa hari ini ditambah dengan beban ransel yang hampir tidak berkurang membuat perjalanan ini terasa begitu panjang, tapi beruntung sekali suara kicauan burung-burung kecil terasa menyejukkan dan meringankan perjalanan kami.

Sampailah kita di post 1. Disini terlihat jelas pemukiman penduduk, ladang-ladang/perkebunan penduduk, serta yang membuat hati ini miris, banyaknya hutan-hutan yang ditebang, baik untuk perkebunan dan tak sedikit yang masih dibiarkan gundul. Kasian sekali hutanku….

Tidak mau berlama-lama menatap hutan yang semakin gundul, kamipun segera beranjak menuju dusun Karangan. Dengan melewati perkebunan penduduk, menyususri tepi sungai Salu Karangan yang jernih dengan gemericik airnya yang menggoda untuk dijamah setelah seharian berjalan dengan badan yang penuh dengan keringat. “Hm…pasti segar”, batinku. Tak lama kami berjalan, sampailah kami di dusun Karangan, bertemu lagi dengan keluarga Bapak Sahir dan penduduk sekitar yang selalu ramah menyambut para pendaki (Alhamdulillah….)

Rencana hari ini untuk langsung bertolak menuju desa Baraka harus kami gagalkan. Hujan deras terus mengguyur dusun ini semalaman. Hal yang dikhawatirkan jika hujan adalah akses jalan setapak menuju Rante Lemo (dusun Latimojong) licin, kemudian jalanan dari Rante Lemo menuju desa Baraka akan sulit dilalui oleh kendaraan jenis apapun karena akses jalan sebagian besar adalah tanah liat dan tanah merah. Pertimbangan inilah yang mengharuskan kami untuk bermalam dulu di dusun Karangan sambil melihat situasi keesokan hari.

Jumat, 17 Agustus 2007 Dusun Karanga – Desa Baraka

Hujan telah berhenti ketika kami masih terlelap. Terlihat mentari pagi hangat menyinari dusun Karangan. Waktu yang tepat untuk kembali ke desa Baraka. Hm…ada beberapa ekor kuda para petani kopi terlihat di depan rumah Bapak Sahir. Menurut cerita kuda-kuda itu dapat juga disewa untuk membawa ransel-ransel para pendaki menuju Rante Lemo. Iseng-iseng kami menawar untuk menyewa kuda itu, yupz…berhasil !!! harga sewa per kuda Rp. 70,000, kami menyewa tiga kuda untuk mengangkut 19 ransel. Lumayan…begitu nikmat perjalanan kami dengan tidak adanya ransel di punggung. Sampailah kami di Rante Lemo. Truck yang kemaren membawa kami dari desa Baraka menuju ke Rante Lemo telah menunggu dan siap mengantarkan kami kembali ke desa Baraka.

Lagi-lagi kami disuguhi oleh pesona alam yang memukau. Dalam perjalanan menuju Baraka kali ini kami melewati jalur…. , berbeda dengan rute keberangkatan kemarin. Banyak sekali dijumpai teping-tebing indah menjulang tinggi disana. Salah satu tebing yang kami tau adalah Buntu Batu. Buntu Batu ini menurut cerita terdapat lubang yang menyerupai tapak tangan yang besarnya enam kali tapak tangan orang dewasa, tetapi belum diketahui asal usul lubang tersebut.

Tiga jam berlalu, sampailah kami di desa Baraka. Teman-teman KPA Lembayung dengan sukacita menyambut kedatangan kami sekembalinya dari Rante Mario. Perjalanan indah yang tidak akan kami lupakan. Begitu banyak cerita, pengalaman, dan hal-hal menarik seru lainnya yang kami alami disini.

Terima kasih teruntung :


  1. Tuhan Yang Maha Esa atas perlindungan dan kasih sayangnya kepada kita semua.

  2. PT Kalbe Farma atas support yang telah diberikan kepada team KARPALA KALFA

  3. Bapak Aydi Jaya, selaku pihak Management PT Kalbe Farma

  4. Bapak IGPBD Virgo, selaku penasehat dan penanggung jawab kegiatan KARPALA KALFA.

  5. Team ekspedisi Latimojong 2007 dan semua teman-teman KARPALA KALFA

  6. Bang Indra Qonyek untuk informasi-informasinya.

  7. Web HighCamp, terima kasih untuk CatPernya, maaf kami telah mengcopy CatPer Latimojong 2001 tanpa permisi dahulu, mayan euy buat itenary. Kondisi saat ini agak sedikit berbeda.

  8. Teman-teman di KPA Lembayung. Marfin, Barry, Chandra, Iwan, dan Ully buat semua support, cerita, dan pengalaman selama perjalanan, sangat berharga sekali.

  9. Semua pihak yang telah mensupport kegiatan kami.

Jakarta, 31 Agustus 2007
Team Ekspedisi Latimojong 2007
KARPALA KALFA


More Article...


(0) comments << Home